Archive for April 15, 2009

ternak ayam hutan hijau

ayam_hutan_hijauAyam-hutan Hijau adalah nama sejenis burung yang termasuk kelompok unggas dari suku Phasianidae, yakni keluarga ayam, puyuh, merak dan sempidan. Ayam hutan diyakini sebagai nenek moyang ayam peliharaan. Dalam bahasa daerah, ayam ini disebut dengan berbagai nama seperti canghegar atau cangehgar (Sd.), ayam alas (Jw.), ajem allas atau tarattah (Md.).

Memiliki nama ilmiah Gallus varius (Shaw, 1798), ayam ini dalam bahasa Inggris disebut Green Junglefowl, Javan Junglefowl, Forktail, atau Green Javanese Junglefowl; yakni merujuk pada warna dan asal tempatnya.

Ciri-Ciri

Burung yang berukuran besar, panjang tubuh total (diukur dari ujung paruh hingga ujung ekor) sekitar 60 cm pada ayam jantan, dan 42 cm pada yang betina.

Jengger pada ayam jantan tidak bergerigi, melainkan membulat tepinya; merah, dengan warna kebiruan di tengahnya. Bulu-bulu pada leher, tengkuk dan mantel hijau berkilau dengan tepian (margin) kehitaman, nampak seperti sisik ikan. Penutup pinggul berupa bulu-bulu panjang meruncing kuning keemasan dengan tengah berwarna hitam. Sisi bawah tubuh hitam, dan ekor hitam berkilau kehijauan. Ayam betina lebih kecil, kuning kecoklatan, dengan garis-garis dan bintik hitam.

Iris merah, paruh abu-abu keputihan, dan kaki kekuningan atau agak kemerahan.

Penyebaran dan Kebiasaan

Ayam yang menyukai daerah terbuka dan berpadang rumput, tepi hutan dan daerah dengan bukit-bukit rendah dekat pantai. Ayam-hutan Hijau diketahui menyebar terbatas di Jawa dan kepulauan Nusa Tenggara termasuk Bali. Di Jawa Barat tercatat hidup hingga ketinggian 1.500 m dpl, di Jawa Timur hingga 3.000 m dpl dan di Lombok hingga 2.400 m dpl.

Pagi dan sore ayam ini biasa mencari makanan di tempat-tempat terbuka dan berumput, sedangkan pada siang hari yang terik berlindung di bawah naungan tajuk hutan. Ayam-hutan Hijau memakan aneka biji-bijian, pucuk rumput dan dedaunan, aneka serangga, serta berbagai jenis hewan kecil seperti laba-laba, cacing, kodok dan kadal kecil.

Ayam ini kerap terlihat dalam kelompok, 2 – 7 ekor atau lebih, mencari makanan di rerumputan di dekat kumpulan ungulata besar seperti kerbau, sapi atau banteng. Selain memburu serangga yang terusik oleh hewan-hewan besar itu, Ayam-hutan Hijau diketahui senang membongkar dan mengais-ngais kotoran herbivora tersebut untuk mencari biji-bijian yang belum tercerna, atau serangga yang memakan kotoran itu.

Pada malam hari, kelompok ayam hutan ini tidur tak berjauhan di rumpun bambu, perdu-perduan, atau daun-daun palem hutan pada ketinggian 1,5 – 4 m di atas tanah.

Ayam-hutan Hijau berbiak antara bulan Oktober-Nopember di Jawa Barat dan sekitar Maret-Juli di Jawa Timur. Sarang dibuat secara sederhana di atas tanah berlapis rumput, dalam lindungan semak atau rumput tinggi. Telur 3-4 butir berwarna keputih-putihan.

Tak seperti keturunannya ayam kampung, Ayam-hutan Hijau pandai terbang. Anak ayam hutan ini telah mampu terbang menghindari bahaya dalam beberapa minggu saja. Ayam yang dewasa mampu terbang seketika dan vertikal ke cabang pohon di dekatnya pada ketinggian 7 m atau lebih. Terbang mendatar, Ayam-hutan Hijau mampu terbang lurus hingga beberapa ratus meter; bahkan diyakini mampu terbang dari pulau ke pulau yang berdekatan melintasi laut.

Pagi dan petang hari, ayam jantan berkokok dengan suaranya yang khas, nyaring sengau. Mula-mula bersuara cek-kreh.. berturut-turut beberapa kali seperti suara bersin, diikuti dengan bunyi cek-ki kreh.. 10 – 15 kali, dengan jeda waktu beberapa sampai belasan detik, semakin lama semakin panjang jedanya. Kokok ini biasanya segera diikuti atau disambut oleh satu atau beberapa jantan yang tinggal berdekatan. Ayam betina berkotek mirip ayam kampung, dengan suara yang lebih kecil-nyaring, di pagi hari ketika akan keluar tempat tidurnya.
Ayam hutan dan manusia

Ayam hutan hijau adalah kerabat dekat leluhur ayam peliharaan, ayam-hutan merah (Gallus gallus). Ayam hutan merah yang menyebar luas mulai dari Himalaya, Tiongkok selatan, Asia Tenggara, hingga ke Sumatra dan Jawa. Pada pihak lain, ayam-hutan hijau tersebar di Jawa, Bali dan pulau-pulau Nusa Tenggara lainnya. Ayam hutan dari Jawa Timur dikenal sebagai sumber tetua untuk menghasilkan ayam bekisar. Bekisar adalah persilangan antara ayam-hutan hijau dengan ayam kampung.

Bekisar dikembangkan orang untuk menghasilkan ayam hias yang indah bulunya, dan terutama untuk mendapatkan ayam dengan kokok yang khas. Karena suaranya, ayam bekisar dapat mencapai harga yang sangat mahal. Bekisar juga menjadi lambang fauna daerah Jawa Timur.

sumber dinas peternakan jateng

April 15, 2009 at 8:23 pm 48 comments

Menanam Rumput, Memanen Antibiotik

wheatgrassPADA akar rumput yang tersebar di bumi Indonesia ternyata terdapat jutaan mikroba penghasil antibiotik.


PADA akar rumput yang tersebar di bumi Indonesia ternyata terdapat jutaan mikroba penghasil antibiotik. Umumnya orang sengaja menanam rumput untuk dua tujuan. Pertama, sebagai tanaman penutup agar tanah tidak gundul, lebih indah, dan terhindar dari erosi. Kedua, sebagai bahan utama pakan ternak.

Ternyata di samping kedua umum itu, sebenarnya masih masyarakat. Salah satu manfaat belum diketahui itu adalah kemampuan penghasil antibiotik yang banyak tersebar di alam. Bagaimana cara rumput ?menangkap? mikroorganisme < tersebut? p>

Jawabannya bisa dimulai dengan sedikit mengenal antibiotik terlebih dahulu. Zahner dan Mass (1972) mendefinisikan antibiotik sebagai substansi yang dihasilkan oleh organisme hidup yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh organisme lainnya.

Antibiotik mempunyai nilai ekonomi tinggi terutama di bidang kesehatan karena kegunaannya dalam mengobati berbagai penyakit infeksi. Selain memiliki arti penting di bidang kesehatan manusia, antibiotik juga digunakan di bidang kedokteran hewan untuk mengobati penyakit infeksi dan untuk meningkatkan pertumbuhan hewan ternak. Antibiotik diaplikasikan juga dalam bidang pertanian untuk meningkatkan hasil-hasil pertanian.

Antibiotik dapat dihasilkan oleh alga, lichen, tumbuhan tingkat tinggi, hewan tingkat rendah, vertebrata, dan mikroorganisme. Saat ini sumber yang tengah gencar dikembangkan karena banyak menghasilkan antibiotik adalah yang berasal dari mikroorganisme, yaitu bakteri dari kelas Actinomycetes.

Banyak bakteri dari kelas Actinomycetes mempunyai kemampuan dalam menghasilkan antibiotik. Streptomyces, misalnya, merupakan genus bakteri dari kelas ini yang terbukti mampu menghasilkan bermacam-macam antibiotik. Pada akhir 1972 saja, bakteri dari genus Streptomyces ini telah menghasilkan 2.078 jenis antibiotik (Betina, 1983).

ANTIBIOTIK yang dihasilkan oleh Actinomycetes secara garis besar terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan aminoglikosida. Golongan ini dinamakan aminoglikosida karena strukturnya mengandung amino dan glikosida. Paling sedikit golongan ini mempunyai satu aminoheksosa dan mempunyai pentosa pada gugus aminonya.

Aminoglikosida bekerja secara langsung pada ribosom bakteri dan akan menghambat sintesa protein sehingga mengganggu translasi pesan genetik bakteri tersebut. Contoh-contoh antibiotik pada golongan ini adalah streptomisin, neomisin, peromomisin, kanamisin, gentamisin, dan tobramisin.

Kedua, golongan makrolida. Struktur golongan ini terdiri atas cincin lakton yang besar dinamakan makrolid, gugus keton, dan glikosida.

Cara kerja golongan makrolid di atas antara lain dengan menghambat sintesis protein. Contoh-contoh antibiotik pada golongan ini antara lain pikromisin, eritromisin, karbomisin, oleandomisin, spiramisin, josamisin, dan tilosin.

Ketiga, golongan obat antitumor. Beberapa obat bioaktif yang dihasilkan oleh Actinomycetes dapat digunakan untuk kemoterapi kanker. Obat ini umumnya bersifat sitotoksik dengan mengganggu fungsi DNA (contoh: actinomycin D dan anthracyclines) atau cross linking agents (mitomycin C), menyebabkan pecahnya ikatan rantai DNA (bleomycin, streptonigrin), atau interaksi dengan DNA (mithramycin, chromomycin, olivomycin) (Salas dan Mendez, 1998).

SEKALIPUN telah banyak menghasilkan antibiotik, eksplorasi terhadap Actinomycetes terutama pada genus Streptomyces untuk mencari spesies-spesies Streptomyces baru guna memperoleh antibiotik baru tetap dilakukan dan ternyata memang tetap menghasilkan. Eksplorasi untuk menemukan jenis antibiotik baru terus dilakukan karena ada faktor resistensi kuman terhadap antibiotik yang telah ada.

Lebih dari 90 persen antibiotik yang dihasilkan dari berbagai spesies Streptomyces digunakan untuk terapi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Tetapi, karena adanya resistensi kuman yang timbul akibat adanya mutan-mutan baru, maka sering mengakibatkan antibiotik tidak bisa digunakan sesuai dosis anjurannya. Antibiotik tidak efektif lagi dalam dosis anjurannya.

Kalau dipaksakan untuk tetap digunakan, dosis yang digunakan harus lebih tinggi. Namun, apabila hal ini dilakukan, dapat mengakibatkan efek samping yang tidak dikehendaki seperti nyeri perut, demam, pembengkakan hati, berkurangnya sekresi ginjal, dan lain-lain.

Dengan demikian, perlu senantiasa dicari galur antimikroba baru yang menghasilkan antibiotik dengan potensi lebih tinggi dalam membunuh kuman penyebab penyakit.

Yang menarik dalam penelitian pencarian antibiotik adalah penemuan Walksman pada tahun 1950 bahwa Actinomycetes banyak ditemukan di tanah berumput. Dengan demikian, dengan menanam rumput, manusia dapat sekaligus memanen antibiotik.

Populasi Actinomycetes pada tanah rizosfir (sekitar perakaran) rumput mendekati 40 persen dari total mikroflora tanah.

SEPERTI juga tumbuhan lainnya, akar rumput mempunyai kemampuan untuk mengeluarkan eksudat (cairan sel yang keluar ke sekitar akar).

Hasil eksudasi akar kemudian menyebar ke tanah rizosfir rumput. Hasil eksudasi merupakan sumber kehidupan bagi mikroflora tanah, termasuk di dalamnya mikroorganisme.

Tidaklah mengherankan bila mikroorganisme yang tersebar di alam kemudian “berbondong-bondong” menempati tanah rizosfir rumput dan menjadikannya sebagai habitat.

Sebenarnya, habitat Streptomyces bukan hanya rizosfir rumput, melainkan tanah secara umum yang banyak mengandung bahan organik. Bahan organik tanah merupakan sumber energi utama yang dibutuhkan untuk keperluan hidupnya. Tanpa bahan-bahan ini, seluruh aktivitas biokimia di dalam tanah akan berhenti.

Sekalipun mikroorganisme bisa hidup di tanah secara umum, peluang terbesar untuk mendapatkannya terdapat di tanah rizosfir. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya antibiotik yang dihasilkan dari berbagai spesies Streptomyces hasil isolasi asal tanah rizosfir. Bisa diduga, mikroorganisme banyak terdapat di rizosfir karena akar rumput-rumputan mengeluarkan eksudat yang mengandung bahan organik tersebut.

Hingga saat ini belum semua tanah rizosfir rumput diketahui mampu “menangkap” mikroorganisme penghasil antibiotik. Di antara yang sudah diketahui adalah tanah rizosfir rumput pahit (Axonopus compressus SWARTZ BEAUV) dan rumput jampang (Eleusine indica L GAERTN).

Di Indonesia, kedua jenis rumput itu penyebarannya luas sehingga mudah diperoleh. Selain itu, akarnya relatif rimbun sehingga memudahkan untuk mendapatkan massa akar yang diperlukan.

Penelitian terhadap tanah rizosfir kedua rumput antara lain dilakukan Henny Rachdiati dari Universitas Nusa Bangsa Bogor. Dari penelitiannya, Rachdiati menemukan hasil antara lain dalam tabel

METODE Agar Cakram Kertas (Paper Disc Method) merupakan salah satu cara untuk menguji kesanggupan antibakteri dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme hidup. Pada penelitian tersebut yang dijadikan sebagai mikroorganisme uji adalah Bacillus subtilis (B subtilis), Staphylococcus aureus (S aureus), dan Eschericia coli (E coli).

Dari tabel terlihat bahwa diameter daerah hambat dari 19 isolat terhadap bakteri uji besarnya bervariasi, mulai 7,5 mm hingga 18 mm. Davis Stout mengemukakan bahwa ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti sangat kuat, daerah hambatan 10 mm-20 mm (kuat), daerah hambatan 5 mm – 10 mm (sedang), dan daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah).

Jika data pada tabel dikaitkan dengan ketentuan kekuatan antibiotik-antibakteri yang dikemukakan oleh Stout, tidak ada satu isolat pun yang memiliki kekuatan “sangat kuat”.

Namun, bukan berarti semua isolat tidak berpotensi mengingat setidaknya ada delapan isolat yang memiliki kekuatan antibiotik “kuat” (karena memiliki daerah hambatan 10 mm-20 mm), yaitu isolat-isolat: J1, J2, J3, J8, P1, P4, P7, dan P8.

Dari serangkaian uji lanjutan terhadap 8 isolat tersebut, Rachdiati mengidentifikasi bahwa ke-8 isolat tersebut genusnya sama, tetapi spesiesnya berbeda-beda. Namun sayang, penelitian tersebut tidak sampai mengidentifikasi nama genusnya, apalagi sampai ke nama-nama spesiesnya.

Kendati demikian, penelitian ini telah membuktikan bahwa rumput Indonesia yang keberadaannya sering tidak dikehendaki banyak orang ternyata memiliki potensi ekonomi luar biasa yang diharapkan bisa menghapus air mata si miskin saat harus menebus obat dan sekaligus mencegah galur resisten bakteri potagen.

Kelak, manusia mestinya bisa menanam rumput untuk memanen (mikroorganisme penghasil) antibiotik. Semoga lembaga-lembaga riset di Indonesia mampu melanjutkannya sehingga harga antibiotik dapat terjangkau dengan mudah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.

DR HasIm DEA Dosen Biokimia dan Toksikologi FMIPA dan Pascasarjana IPB serta Direktur Eksekutif Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA-Watch)

sumber situs hijau

April 15, 2009 at 8:05 pm 1 comment

Older Posts


Pilih bahasa

Categories

status

kaskusradio.com

KasKusRadio - Indonesian Radio

rank

Alexa Certified Traffic Ranking for ayobertani.wordpress.com
April 2009
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930